KH. Moch. Nadjib Abdul Wahab dilahirkan di desa tambakberas pada bulan 9 september 1927 (berdasarkan data passport). Beliau merupakan putra ketiga dari KH. Abdul Wahab Chasbullah. Sebagai seorang anak yang dilahirkan di lingkungan pesantren, sejak kecil beliau sudah terbiasa dengan pendidikan al quran dan beberapa kitab yang diajarkan di dunia pesantren, melalui madrasah mubdil fan.
Beliau mempelajari sedikit demi sedikit kitab-kitab yang biasa dikaji oleh para santri di pesantren tambakberas. Jenjang demi jenjang pun ditapaki dengan semangat tinggi, mulai dari fathul qorib, fathul wahab, ushul fiqh dan bahasa arab adalah beberapa kitab yang beliau pelajari saat itu dengan dibawah bimbingan langsung KH. Abdul Wahab Hasbullah yang merupakan ayahanda beliau, dan KH. Nawawi, Kiai Husni, Kiai Abdurrohman. Dengan kesabaran beliau mampu melahap semua keterangan dan penjelasan yang disampaikan.
Setelah sekian tahun belajar dan menekuni kitab dipesantren tambakberas dengan bimbingan para kiai, muncullah hasrat beliau untuk mengembangkan pengetahuannya, atas restu ayahandanya akhirnya beliau berangkat ke pesantren tebuireng, nyantri dan belajar pada hadratussyekh KH. Hasyim Asyari. Di pesantren ini beliau menimba ilmu hadits, tafsir selama empat tahun dibawah bimbingan langsung mbah hasyim. Setelah empat tahun di tebuireng dengan restu mbah hasyim pula, beliau melanjutkan pengembaraannya ke kota Kediri, di pesantren lirboyo dibawah bimbingan KH. Abdul Manaf (Mbah karim). Di pesantren ini beliau mengaji dan menggali ilmu tasawuf dan ilmu-ilmu lainnya selama dua tahun. Untuk menghilangkan dahaga keilmuannya, serta dengan seizing mbah manaf, beliau, beliau meneruskan nyantri di pesantren langitan Tuban, dilanjutkan ke pesantren pabelan magelang, kemudian ke pesantren karang ampel Cirebon.
Lebih dari itu, beliau juga nyantri kilatan di beberapa pesantren lainnya. bertahun-tahun beliau keliling dari pesantren ke pesantren, disamping menimba ilmu beliau juga ingin memperbanyak guru dan ngalap barokah dari para kiai.
Pada tahun 1961, beliau kembali ke indonesia setelah menuntaskan masa belajar di al azhar selama 5 tahun dan berhasil menjadi mahasiswa dengan predikat lulus sempurna serta mendapatkan gelar LML. Karena kecerdana serta keaktifan beliau di organisasi ketika di semarang maupun saat di mesir pada akhirnya mengantarkan beliau sebagai aktifis NU dalam dunia politik yang diperhitungkan. Setelah menetap di indonesia, di sela-sela aktif menggeluti dunia organisasi dan politik, pada tahun 1936 saat usia beliau 36 tahun, beliau menikah mendapatkan gadis pekalongan bernama salmah hayati binti ahmad zahid.
Sisi lain perjalanan organisasi beliau terus berlanjut dan semakin menguat, terbukti dengan terpilihnya beliau sebagai anggota DPR-GR pada tahun 1962, dan anggota MPR pada tahun 1971.
Pada tahun 1977 setelah meninggalnya KH. Abdul Fattah Hasyim beliau kembali ke tambakberas untuk mengabdi serta memimpin pesantren tambakberas, dalam pengabdiannya beliau berupaya meningkatkan mutu dan kualitas santri juga pesantren tambakberas. System keorganisasian pun tak luput dari perhatian beliau. Struktur kepengurusan pesantren termasuk yang mulai ditata, sejak saat itu muncullah istilah rois khos (ketua komplek), corps dakwah, pengajian sentral malam selasa, struktur ta’mir masjid. Dalam kepemimpinannya pula dirintislah Akademi Bahasa Asing (ABA) yang merupakan cikal bakal Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI). Meskipun berada di tambakberas, kiprah beliau dalam organisasi NU masih terus berjalan. Jika dulu perjalanan organisasi beliau ada di wilayah jawa tengah dan Jakarta, kini bergeser ke jawa timur.
Mungkin karena perjalanan beliau ke berbagai daerah ini, nama tambakberas makin memasyarakat. Sehingga jumlah santri yang semula berkisar di angka 150 untuk al lathifiyyah, 250 untuk al fathimiyyah, serta 350 bermukim di induk melonjak jumlahnya hingga mencapai ribuan. Masa kiai nadjib ini pula mulai berkembang ribath-ribath baru untuk menampung santri yang makin meluber.
Begitu aktif beliau terlibat di berbagai kegiatan dan organisasi, sampai pada hari jum’at tanggal 16 oktober 1987, sehari setelah memimpin rapat gabungan harian tanfidziyah-syuriah NU jawa timur di kantor NU di Surabaya dan turba ke pasuruan, beliau jatuh sakit karena keletihan dan kesehatannya mulai berkurang, sempat sehari dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Di jombang. Tepat pukul 10.30 pada pagi hari selasa tanggal 20 oktober 1987 kesehatan beliau tidak tertolong lagi, beliau menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 60 tahun, innalillahi wa inna ilaihi raji’un.